Pekanbaru ( Bingkairiau.com) - Pesta demokrasi agenda lima tahunan bangsa Indonesia semakin dekat. Pesta demokrasi yang diselenggarakan dalam bentuk Pemilu (pemilihan umum) akan berlangsung pada 14 Februari 2024 mendatang. Bagi masyarakat Indoensia, momentum tersebut adalah kesempatan untuk menentukan pilihan pemimpin bangsa untuk lima tahun ke depan, baik dalam wilayah legislative, maupun eksekutif.
Sebagaimana biasanya para pelaku, atau pecandu politik praktis segera mempersiapkan diri sejak awal kepada masyarakat. Berharap keberuntungan akan didapat dengan terpilihnya sebagai anggota legislative atau eksekutif. Pastinya akan merubah nasib hidup, semoga juga nasib rakyat, heheh, semoga. Berbagai metode dan strategi dikerahkan untuk menggaet perhatian hingga pilihan masyarakat.
Salah satu metode yang populer dalam memperkenalkan diri serta mensosialisasikan visi dan gasan adalah dengan pemasangan baliho. Secara konseptual, baliho adalah sarana atau media promosi yang memiliki unsur memberitakan event atau kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat luas. Belakangan baliho menjadi sarana pilihan caleg untuk memperkenalan diri kepada masyarakat.
Pemanfaatan berbagai sarana termasuk baliho tentu sah sah saja, apalagi hal tersebut dilindungi oleh peraturan yang sah juga. Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum: “Pasal 32 (1) Peserta Pemilu dapat mencetak dan memasang Alat Peraga Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d. (2) Alat Peraga Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. baliho, billboard, atau videotron; b. spanduk; dan/atau c. umbul-umbul.”
Terlepas dari dasar hukum di atas, terdapat beberapa keresahan kritis dari masyarakat terkain persoalan baliho. Pertama adalah persoalan etika dan estetika pemasangan. Sejak informasi agenda sosialisasi calon legislatif, segera bertabutan baliho, spanduk dan sejenisnya terpasang di berbagai tepat. Mulai dari persimpangan jalan, pokok-pokok pohon, fasilitas umum, Gedung dan lain sebagainya.
Tepi lajur jalan dan persimpangan padat dengan atribut spaduk dan baliho dengan pola pemasangan yang sungguh sangat tidak beraturan. Sebagian lagi dipasang dengan tidak mengindahkan etika, saling timpa, menutup fasilitas umum, menghalang ruang pandang lapu merah, dan masih banyak lagi.
Jelas hal ini sesungguhnya jauh dari nilai etika (moral) dan estetika (keindahan) yang diharapkan oleh masyarakat. Bila kita sedikit menganalisa, maka kita dapat membaca bagaiman orientasi etika dan estetika para calon tersebut. Dalam proses memperkenalkan diri saja sudah membuat semrawut pemandangan, lalu bagaimana ketika mereka nanti berkuasa. Heheh, antahlah wak.
Persoalan yang kedua adalah persoalan yang lebih serius lagi, yaitu sepinya baliho dengan tawaran gagasan dari calon. Baliho yang terpasang rata-rata hanya menonjolkan gaya dan tampang, seakan model iklan peci atau pasta gigi, heheh, murah senyum wak. Sebenarnya masyarakat berharap mendapatkan keyakinan atas pilihannya dengan adanya impian yang ditawarkan.
Impian tersebut tentu saja terbaca dalam gagasan atau ide yang ditawarkan oleh calon. Ya tentu saja bukan dalam bentuk ulasan naratif, tetapi cukup dengan tegline yang bernas. Heheh dapat dibanyangkan apa yang akan mereka perjuangkan ketika berkuasa, kalo dari awal saja tidak ada konsep yang bisa ditawarkan kepada masyarakat. Heheh, antahlah wak.
Apapun kondisinya kita harus proaktif untuk berpartisipasi dalam pemilu mendatang, tepat semangat. Satu lagi kalo kita beda pilihan jangan bertengkar, jaga kerukunan. Sadar wak, kalo mereka terpilih mereka yang jadi pejabat, biasanya lupa dengan kita. Heheh, senyum wak.