"Ketidakadilan bukan hanya soal hukum yang dilanggar, tapi juga ketika hukum gagal hadir untuk yang lemah."
Kebakaran di areal PT Seraya Sumber Lestari (SSL), Siak, bukan semata insiden anarkis. Ia adalah letupan dari luka panjang, yang oleh negara seringkali disebut "sengketa biasa", namun bagi masyarakat adat di Tumang, adalah soal hidup dan mati. Tanah itu bukan sekadar hektare dan sertifikat, tapi jejak leluhur, tumpuan hidup, dan batas harga diri.
Mari kita ajak hukum berbicara jujur.
Dua Mata Pisau Hukum
Ketika warga membakar pos dan kendaraan perusahaan, hukum bergerak cepat: pelaku ditangkap, ditetapkan tersangka, dan diproses. Cepat, tegas, dan "sesuai prosedur". Tapi mengapa hukum begitu lambat menyelidiki legalitas lahan PT SSL yang sudah beroperasi sejak 2003? Mengapa negara seperti memunggungi warga yang bersuara sejak belasan tahun lalu?
Kita melihat potret ketimpangan penegakan hukum: yang membela modal difasilitasi, yang membela tanah dipenjara. Padahal Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dengan terang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat, selama masih hidup dan sesuai perkembangan zaman.
Di Mana Negara?
Konflik agraria di Siak bukan satu-satunya. Tapi yang membedakan kasus PT SSL adalah diamnya negara terlalu lama. Pemerintah daerah dan pusat seolah tutup mata atas tumpang tindih lahan HTI dengan permukiman dan wilayah kelola rakyat.
Jika benar PT SSL menanami hutan di atas gambut dalam tanpa konsultasi publik atau peta partisipatif, maka secara normatif sudah melanggar prinsip dasar Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagaimana dijunjung dalam standar-standar kehutanan internasional.
Kita tidak bisa menuntut warga taat hukum jika negara sendiri absen dalam memberi keadilan.
Ketika Keadilan Tak Hadir, Anarki Menjadi Bahasa
Apakah membakar pos perusahaan itu benar? Tidak. Apakah bisa dibenarkan secara hukum? Jelas tidak. Tapi dalam perspektif sosiologis, tindakan itu adalah bentuk "jeritan terakhir" ketika semua pintu keadilan ditutup rapat.
Sebagaimana kata Bung Hatta: "Perlawanan rakyat adalah sinyal bahwa negara telah terlalu jauh meninggalkan mereka." Anarki adalah kegagalan negara menjaga ruang dialog.
Harus Ada Jalan Tengah
Mediasi bukan cukup, jika hanya bersifat formalitas. Yang dibutuhkan adalah rekognisi—pengakuan hukum atas wilayah adat. Negara harus hadir, tidak netral, tapi berpihak kepada kebenaran.
PT SSL harus dievaluasi. Izin mereka harus dikaji ulang. Jika memang terjadi pelanggaran administratif atau perusakan lingkungan, pencabutan izin adalah pilihan konstitusional, bukan kekerasan.
Penutup: Hukum untuk Siapa?
Kita tak boleh terus membiarkan hukum menjadi instrumen satu arah: tajam ke rakyat, tumpul ke korporasi. Hukum yang adil bukan yang sekadar ditegakkan, tapi yang dirasakan sebagai perlindungan oleh mereka yang paling lemah.
Tanah Tumang mungkin terbakar, tapi yang lebih menyedihkan adalah jika kepercayaan rakyat pada hukum ikut hangus bersama nyala api itu.
Opini ini ditulis sebagai bentuk refleksi terhadap keadilan substantif dalam konflik agraria, bukan untuk membenarkan kekerasan. Tapi jika negara ingin dihormati, keadilannya harus lebih dulu dibuktikan.***
Opini Hukum: Api di Siak dan Luka di Tanah Adat.
Di tulis Oleh Mahasiswa Fakultas Hukum UNIVERSITAS LANCANG KUNING: MUHD.ALVIN BINTARA,HARRY ANANDA, JHON ANDREAN
Tanggal: 12 Juni 2025