Aliansi Jurnailis Idependen.

Kamis, AJI dan ICCO Cooperation Gelar Media Briefing Sehari

Pekanbaru (Bingkai Riau) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pekanbaru bekerjasama dengan ICCO Cooperation akan menggelar Media Briefing Sehari pada Kamis 3 Agustus 2017.
 
Tema kegiatan ini; "Kolaborasi untuk membangun kesadaran konsumen dan produsen tentang produksi, dan konsumsi berkelanjutan jelajahi asal produknya: Dari Riau untuk Dunia".
 
Peserta Media Briefing Sehari ini sebanyak 38 orang yang berasal dari wartawan media massa di Riau, pemerhati lingkungan dan Pers Mahasiswa. Kegiatan digelar di Evo Hotel, Pekanbaru, Kamis (3/8).
 
Ketua AJI Kota Pekanbaru, Firman Agus menyebutkan, mana yang diprioritaskan perusahaan atau hak-hak masyarakat (HAM) dalam menjalankan aktivitas bisnis di Indonesia? Mana yang lebih didahulukan, antara hak masyarakat komunal yang berkaitan dengan adat atau perusahaan yang berorientasi keuntungan?
 
"Dua pertanyaan itu masih tetap dipertanyakan hingga kini, dan seringkali bersinggungan, bahkan berkonflik satu dengan lainnya, antara kepentingan perusahaan dan masyarakat komunal itu. Khususnya di Riau, hal serupa kerap terjadi. Dari sembilan juta hektar luas Bumi Lancang kuning, lebih dari setengahnya sudah dikapling-kapling oleh Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan pabrik bubur kertas dan kertasnya. Selain itu, oleh ribuan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi secara legal maupun ilegal," Firma mengungkap.
 
Bentangan alam Lancang Kuning itu, kata Firman, setengahnya adalah kawasan ekosistem rawa gambut. Kawasan itu berada di Kabupaten Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kepulauan Meranti, Bengkalis, Rokan Hilir, Rokan Hulu, dan Kota Dumai.
 
Akibatnya, saat lahan gambut itu dibuka sejak tahun 1997, hingga tahun 2017 ini masih terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dan membakar gambut tersebut.
 
"Karhutla bakal panjang masanya, karena tutupan tanaman di atasnya sudah tak ada lagi, karena berganti dengan tanaman monokultur, seperti akasia dan sawit. Akibat karhutla tersebut, ternyata dari sisi bisnis dan ekonomi tidak menguntungkan, malah merugikan dan lebih besar kerugiannya dibandingkan jumlah investasi yang ditanamkan di Riau.Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas area karhutla selama 2015 setara dengan 32 kali wilayah DKI Jakarta, atau empat kali Pulau Bali dengan jumlah terbakar seluas 2.089.911 hektar," Firman menjelaskan.
 
Kerugian negara, ulas Firman, lebih dari 20 triliun rupiah selama tiga bulan karhutla di Riau (Agustus-Oktober) 2015. Dalam menangani karhutla tersebut, telah menghabiskan dana Rp500 milliar.Dana ini untuk penyewaan pesawat dan helikopter, pelaksanaan hujan buatan, pengerahan personel dan aktivasi posko.
 
"Dampak karhutla, sebanyak 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), 60 juta jiwa terpapar asap dan 2,61 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Atas kondisi itu dan untuk menjawab dua pertanyaan dibawal tadi, dipandang perlu memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada jurnalis di Riau, guna membangun kesadaran pentingnya keseimbangan antara bisnis dan HAM," kata Firman.
 
Tujuan Media Breafing ini, lanjut Firman, juga deseminasi prinsip produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Juga deseminasi situasi masyarakat dan lingkungan sekitar area produksi di Semenanjung Kampar.
 
"Untuk itu, kami mendatangkan pembicara Ketua Komisi Nasional (Komnas HAM) Nurkholis, dari ICCO Cooperation Kiswara Santi, praktisi hukum nasional Agung Wibowo, Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Isnadi, dan Pemred GoRiau.com Hasan Basril," kata Firman.***