Dr. Santoso, S.S., M.Si (Dekan Fakultas Studi Islam Umri & Ketua Asosiasi Psiklogi Islam Wilayah Riau)

“Ndasmu Etik”: Retorika Jalur Buntu

Pekanbaru ( (Bingkairiau.con) - Dr. Santoso, S.S., M.Si  (Dekan Fakultas Studi Islam Umri & Ketua Asosiasi Psiklogi Islam Wilayah Riau) 

Bahasa adalah satu-satunya cara paling alamiah untuk melihat karakter, cara berfikir dan kapasitas intelektual seseorang. Bagaimana kahalayak tahu tentang karakter hingga kapasistas intelektual seseorang dapat diperhatikan dari ekspresi bahasanya. 

 

Seseorang dengan kapasistas karakter yang kuat akan ditujukkan dengan kualitas bahasanya. Pilihan kata, intonasi, hingga gestur menjadi bagian dari indikator untuk mengukur kapasitas intelektual seseorang. 

Pribadi dengan kapasitas intelektual terbatas biasanya minim retorika dan gaya bahasa. Hal ini terjadi karena keterbatasan referensi dan kemampuan kognitif untuk elaborasi data.

 

Kondisi ini menjadikan sesorang seringkali mengalami kebuntuan secara kogniitif ketika menghadapi persoalan yang komplek atau di luar kemampuannya. Secara psikologis mereka yang dipaksa untuk memeberikan jawaban atas persoalan di luar kemapuan akan cenderung muncul perilaku emosional negative seperti marah atau takut.

 

Dalam kajian Psikologi Budaya, ekspresi emosi dalam berbahasa sangat ditentukan oleh latar belakang budaya. Dari lingkungan budaya inilah seseorang belajar dan menginternalisasi sistem ekspresi emosi. Dalam lingkungan masyarakat dengan sistem budaya yang terbuka, biasanya cenderung lebih asertif mengekspresikan emosi. Mereka akan lebih nyaman menyampaikan perasaannya dengan bahasa yang lugas dan jelas. Sebaliknya pada masayarakat dengan sistem budaya yang tertutup, biasanya cenderung minim dan terbatas mengekspresikan emosi dengan bahasa verbal. 

 

Pilihan kata ‘ndasmu’ yang belakangan menjadi perhatian masyarakat adalah diksi dengan muatan emosi negatif. Kata “ndasmu” adalah kata yang akarab sekali dalam tradisi masyarakat Jawa sebagai bentuk ungkapan kekesalan seseorang kepada lawan bicara atau orang tertentu. Arti kata “ndasmu” bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah kepalamu. Secara antropologis kepada adalah bagian tubuh dari manusia yang paling dihormati dalam budaya Jawa. Sehingga kepala harus diperlakukan Istimewa, tidak boleh sembarangan disentuh apalagi dibuat mainan. Namun apabila kepala ini disebut dengan ungkapan “ndasmu”, maka maknanya justru merendahkan atau menunjukkan kekesalan secara emosional. 

 

Kata “ndasmu” biasanya dilontarkan oleh seseorang kepada lawan bicara Ketika dia menemui jalan buntu dalam komunikasi. Alternatif kata-kata tidak lagi didapatkan secara cepat sehingga diisi dengan luapan emosi dengan pilihan kata tersebut. Pendek kata pilihan kata tersebut muncul karena kebuntuan retorik seseorang dalam menaggapi suatu persoalan.  Etik sebagai Persoalan Kata “ndasmu” mendadak popular setelah dilontarkan oleh Prabowo Subiyanto dalam Rapat Koordinasi Internal Partai Gerinda. Sumber pemicu munculnya diksi “ndasmu” dalam konteks pidato Calon Presiden Prabowo Subiyanto adalah persoalan “etik”. Persoalan “etik” yang dilontarkan Anis Baswedan pada saat debat resmi capres yang diselenggarakan oleh KPU.  Secara psikilogis pertanyaan tentang etik, cukup menyulitkan bagi Prabowo untuk menaggapi.

 

Hal ini terjadi bukan karena referensi deskriptif atas kata etik, tetapi lebih karena standing potitioning Prabowo yang masuk dalam lingkaran persoalan etik sebagai calon presiden. Sebagaimana diketahui masyarakat, Prabowo menjadi calon presiden untuk kontestasi pemilu 2024 mendatang dengan calon wakil presiden Gibran Raka Buming Raka. Masuknya Gibran dalam bursa cawapres tidak terlepas dari proses perubahan unudang-undang yang diyakini banyak orang melanggar etika politik. Persisnya persolan terbut adalah perubahan batas usia syarat calon presiden dan wakil presiden dalam pasal 169 huruf q UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. 

 

Munculnya kata “Ndasmu etik” adalah bentuk kebuntuhan kognitif Prabowo dalam menjelaskan sikap dan posisinya. Padahal banyak alternatif kata-kata yang lebih kontruktif sebagai refleksi atas persoalan etik di atas, ya bahasa kekiniannya untuk nge-les. 

 

Misalnya saja Prabowo dapat memberikan tanggapan, Ya masalah perubahan sistem undang-undang bukan pada kapsitas saya sebagai warga masyarakat, atau mungkin dengan kalimat yang lebih bias lagi, tentang etik kita harus junjung tinggi, kalo ada kekhilafan ya kita jadikan sebagai pelajaran, gitu aja kok repot. Meskipun contoh alternatif tersebut tidak memuaskan banyak kalangan, namun setidaknya tidak berdampak negative terhadap pribadi Prabowo