Skandal Politik Membebani PDIP dan Ganjar-Mahfud: Ketidaknetralan Aparat dan Ancaman Terhadap ASN

Skandal Politik Membebani PDIP dan Ganjar-Mahfud: Ketidaknetralan Aparat dan Ancaman Terhadap ASN

Pekanbaru (Bingkairiau.com) – Indonesia dikejutkan dengan serangkaian berita viral yang meruntuhkan citra Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan pasangan calon presiden Ganjar Pranowo - Mahfud MD. Ketidaknetralan aparat dan ancaman terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) menciptakan kekhawatiran akan keberlanjutan proses demokrasi di tanah air.

 
Berita pertama yang mencuat adalah curhatan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) asal Boyolali. Dalam [video yang viral](https://youtube.com/watch?v=mYlsVHg4Opo), PNS tersebut mengungkapkan bagaimana ia diperintahkan untuk mendukung PDIP dan pasangan Ganjar-Mahfud. Lebih mengejutkan lagi, PNS ini diminta memberikan sumbangan uang dengan dalih gotong royong. Ancaman pemindahan dan pengucilan menjadi nyata bagi mereka yang berani menolak tawaran kontroversial ini.
 
Berita kedua mengguncang Indonesia ketika Fakta Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Penjabat (Pj) Bupati Sorong terungkap. PDIP dan Ganjar Pranowo diduga meminta bantuan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memenangkan Pilpres 2024. Lebih mencengangkan lagi, Pj Kepala Daerah yang baru dilantik dipaksa untuk memenangkan Ganjar Pranowo dengan persentase 60%+1, sesuai dengan poin ke-4 dalam pakta integritas yang ditemukan tim KPK saat penggeledahan.
 
Berita ketiga memberikan gambaran tentang rencana pelantikan Penjabat (Pj) Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. Suganda Pandapotan Pasaribu, yang seharusnya menjabat, akan digantikan oleh Syafrizal (Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri). Informasi yang beredar mengungkapkan bahwa Suganda didatangi oleh utusan instansi BIN dan Kemendagri yang memintanya untuk mendukung Ganjar - Mahfud MD. Namun, Suganda menolak dengan tegas karena memegang teguh prinsip netralitas ASN.
 
Skandal politik ini memunculkan pertanyaan serius tentang keterlibatan aparat negara dalam proses politik dan menciptakan ketidakpercayaan akan integritas demokrasi di Indonesia menjelang Pilpres 2024.